
Bagi kebanyakan orang, rambut gimbal adalah pilihan untuk
mencerminkan gaya hidup. Tidak demikian dengan gimbal yang banyak
ditemui pada anak-anak kecil di Dataran Tinggi Dieng. Sebagai tanah yang
dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para dewa, aura mistis dan
berbagai mitos masih sangat kental terasa dalam kehidupan masyarakatnya.
Salah satunya yang paling menarik adalah fenomena anak gimbal ini. Anak
gimbal Dieng terlahir normal, sama dengan anak-anak yang lainnya. Pada
suatu fase, tiba-tiba rambut mereka berubah gimbal dengan sendirinya.
Berbagai penelitian untuk menyelidiki penyebabnya secara ilmiah belum
membuahkan hasil.

Pada kesehariannya anak-anak ini tidak berbeda dan
tidak diperlakukan spesial dibandingkan teman-temannya. Hanya saja
mereka cenderung lebih aktif, kuat dan agak nakal. Apabila bermain
dengan sesama anak gimbal, pertengkaran cenderung sering terjadi antara
mereka. Warga Dieng percaya bahwa mereka ini adalah keturunan dari
pepunden atau leluhur pendiri Dieng dan ada makhluk gaib yang "menghuni"
dan "menjaga" rambut gimbal ini. Gimbal bukanlah genetik yang bisa
diwariskan secara turun temurun. Dengan kata lain, tidak ada seorangpun
yang tahu kapan dan siapa anak yang akan menerima anugerah ini. Konon
leluhur pendiri Dieng, Ki Ageng Kaladite pernah berpesan agar masyarakat
benar-benar menjaga dan merawat anak yang memiliki rambut gimbal.
Keinginannya Harus Dituruti
Rambut gimbal tidak akan selamanya bersarang di kepala
si anak gimbal. Melalui sebuah prosesi, rambut ini harus dipotong karena
ada kepercayaan bahwa jika dibiarkan hingga remaja maka akan membawa
musibah bagi si anak dan keluarganya. Prosesi pemotongan tidak boleh
sembarangan. Anak gimbal sendiri yang menentukan waktunya. Jika dia
belum meminta, maka gimbal akan terus tumbuh walaupun dipotong
berkali-kali.
Selain ritual-ritual yang harus dilakukan, sang orang tua
juga harus memenuhi permintaan anaknya. Apapun permintaan mereka, seaneh
dan sesulit apapun, harus disediakan pada saat prosesi pemotongan
rambut. Ada-ada saja yang diinginkan oleh mereka. Dari yang wajar
seperti sepeda atau sepasang ayam, yang aneh seperti sebumbung kentut,
hingga yang sulit dipenuhi seperti satu truk sapi atau mobil sedan.
YogYES sempat membayangkan betapa repotnya bila memiliki anak gimbal
seperti ini. Apalagi masyarakat percaya bahwa semua keinginannya harus
dipenuhi karena kalau tidak maka si anak akan menderita sakit. Namun
ternyata tidak. Orang Dieng menganggap bahwa anak gimbal adalah berkah
yang akan membawa keberuntungan bagi mereka. Permintaan yang sulit pun
cukup fleksibel dan bisa diakali. Bila si anak meminta satu truk sapi
misalnya, si orangtua cukup membeli satu kilogram daging sapi dan
meletakkannya di atas truk. Permintaan mobil sedan pun bisa dikabulkan
dengan membelikan mainan berupa mobil-mobilan berbentuk sedan.

Setiap bulan Agustus atau Sura dalam penanggalan Jawa,
diadakan prosesi ruwatan massal di kompleks Candi Arjuna. Anak-anak
gimbal dimandikan dengan air dari 7 mata air, diarak dan dilempari beras
kuning dan uang koin, kemudian dipotong rambutnya oleh pemuka adat yang
kemudian melarungnya di Telaga Warna. Namun beberapa orang memilih
untuk melakukan prosesi dan acara sendiri. Ada rasa tidak tega melihat
anaknya harus memakai ikat kepala putih dan selendang dari kain mori
yang biasa digunakan untuk membungkus mayat. Apalagi prosesi pelemparan
beras kuning dan uang koin juga biasa dilakukan untuk upacara pemakaman
jenazah orang yang sudah meninggal.
Fenomena anak gimbal ini memang sudah lazim di kalangan
masyarakat Dieng. Namun bagi orang luar, peristiwa ini adalah sesuatu
yang aneh, unik, dan mungkin sulit diterima dengan logika. Yang jelas,
anak-anak gimbal ini ibarat menjadi “raja” yang akan dikabulkan semua
keinginannya hingga masa ketika tiba waktu untuk dipotong mahkota
gimbalnya.
No comments:
Post a Comment